Potret seorang wanita suku dayak dengan latar belakang hutan yang rusak untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah/saveourborneo.org P...
Potret seorang wanita suku dayak dengan latar belakang hutan yang rusak untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah/saveourborneo.org |
Editor: Adimas Gesang
Ketidakseimbangan penguasaan lahan telah mengundang semakin banyaknya konflik agraria selama masa Orde Baru dan sampai era Reformasi, walaupun sesungguhnya, konflik-konflik agraria tersebut muncul sejak era tahun 1963 dimana sensus pertanian pertama dilakukan atau bahkan sejak era sebelumnya.
Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi berpendapat bahwa hanya dengan program land reform yang benar yang akan memperbaiki sebab-sebab terjadinya ketimpangan yang dihadapi petani tak bertanah dan konflik agraria yang terjadi, dalam bukunya yang berjudul “Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia”.
Reforma agraria adalah upaya untuk mengatur kembali atau mengatasi ketidaksetaraan kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumber daya yang dihasilkan. Di Indonesia, permasalahan reforma agraria telah menjadi isu yang kompleks dan kontroversial selama beberapa dekade. Meskipun adanya upaya-upaya untuk mengatasi masalah ini, tentu seringkali banyak tantangan, kendala dan potensi yang masih perlu pertimbangan.
Salah satu permasalahan utama reforma agraria di Indonesia adalah ketidaksetaraan hak kepemilikan tanah karena banyak lahan yang dimiliki oleh segelintir individu, perusahaan besar, atau kelompok tertentu. Sementara rakyat kecil seperti petani (terlebih buruh tani), dan masyarakat adat hanya memiliki akses lahan yang terbatas.
Hal ini dapat mengakibatkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang signifikan. Sistem hukum dan regulasi yang ambigu dan seringkali bertentangan menjadi kendala utama dalam melaksanakan reforma agraria. selain itu proses perpindahan kepemilikan tanah seringkali berlarut-larut dan penuh ketidakpastian hukum.
Pengabaian Hak Tanah Masyarakat Adat
Masyarakat adat seringkali tinggal di wilayah yang diincar oleh industri ekstraktif, perusahaan besar, dan proyek infrastruktur. Ini menciptakan konflik antara kepentingan ekonomi dan hak tanah masyarakat adat. Ketidaksetaraan dalam kekuatan negoisasi dan perlindungan hukum seringkali menguntungkan pihak industri atau perusahaan besar.
Pengabaian hak tanah masyarakat adat melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, seperti pengusiran paksa, kekerasan, dan penindasan terhadap komunitas-komunitas adat. pada akhirnya masyarakat adat-lah yang menjadi korban dari ketidakadilan sistemik dan ketidaksetaraan atau kerakusan kekuasaan.
Mereka mengabdikan dirinya untuk menjaga lingkungan (ekologi), tetapi ketika hak tanah mereka diabaikan, seringkali ada kerusakan. Eksploitasi sumber daya yang tidak terkontrol dapat merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan hak hidup.
Ketidaksetaraan dalam akses untuk sumber daya pertanian, hutan, dan perairan mengakibatkan ketidaksetaraan ekonomi antara masyarakat adat dan pihak lain yang memiliki kepentingan ekonomi dalam reforma agraria.
Salah satu akar dari ragam masalah agraria atas Masyarakat Adat di Indonesia adalah ketiadaan pengakuan legal hak dasar atas tanah-air dan ruang hidupnya. Pengabaian hak dasar ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang proses “teritorialisasi”.
Yakni, sebuah proses yang dibuat oleh negara untuk mengontrol orang dan aktifitasnya dengan cara membuat garis di sekeliling ruang geografis, menghalangi orang-orang tertentu masuk ke ruang tersebut, dan dengan mengizinkan atau melarang aktifitas di dalam batas-batas ruang tersebut. (Vandergeest 1996).
Sebagaimana diketahui hak kolektif suatu suku untuk mempertahankan identitas dan kebudayaannya adalah konsep hak-hak kemanusiaan (human rights) generasi ketiga, berupa hak individu dan komunitas untuk berkembang dan menikmati secara bersama-sama warisan leluhurnya berupa kekayaan alam sebagai sumber-sumber ekonomi primer.
Munculnya konsep hak-hak kemanusiaan kolektif ini terutama didorong oleh persoalan-persoalan yang terjadi di seluruh dunia sebagai akibat dari proses pengikisan sumber daya hayati lingkungan dan penyingkiran budaya-budaya asli dari suku-suku pribumi setempat oleh kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi.
Reforma agraria adalah salah satu konsep yang menjadi tonggak penting dalam pembangunan agraria Indonesia. Ini adalah sebuah usaha untuk memperbaiki distribusi tanah yang timpang, mengurangi kemiskinan, serta memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga negara. Namun, sayangnya, dalam perjalanan implementasinya hak tanah masyarakat adat sering diabaikan dan dilanggar. Mencuatnya permasalahan pengabaian hak tanah terhadap Masyarakat adat dapat memicu:
1. Konflik Tanah yang Berkelanjutan
Salah satu dampak dari pengabaian hak tanah masyarakat adat adalah konflik tanah yang berkelanjutan. Masyarakat adat seringkali ditempatkan pada posisi yang rentan, dengan kekuasaan besar dari sektor korporasi atau pemerintah yang berusaha untuk mengambil alih tanah mereka. Konflik ini tidak hanya menciptakan ketegangan sosial, tetapi juga menghambat upaya reforma agraria yang seharusnya meningkankan kesejahteraan semua pihak.
2. Pelanggaran Hak Asasi manusia
Pengabaian hak tanah masyarakat adat juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya dijamin oleh hukum internasional, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Namun, dalam prakteknya, hak-hak ini sering dilanggar, termasuk hak atas pemilikan tanah, hak atas pengendalian tanah, dan ha katas kesejahteraan ekonomi.
3. Eksploitasi Sumber Daya Alam Secara Berlebihan
Pengabaian hak tanah masyarakat adat juga akan berdampak pada ekploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Ketika tanah masyarakat adat direbut atau dikuasai oleh pihak ketiga yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi, seringkali sumber daya alam tersebut dieksploitasi secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka Panjang. Hal ini merugikan tidak hanya masyarakat adat, tetapi juga merugikan ekosistem dan generasi mendatang.
4. Tidak Menciptakan Pembangunan Berkelanjutan
Reforma agraria yang mengabaikan hak tanah cenderung tidak menciptakan Pembangunan berkelanjutan. Kesejahteraan masyarakat adat yang bergantung pada tanah mereka seringkali terancam, menghambat Pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya. Ini berkontribusi pada ketidakstabilan di pedesaan dan ketidaksetaraan yang lebih besar dalam bermasyarakat.
Hak masyarakat hukum adat merosot tajam sejak tahun 1960 seiring meningkatnya kepentingan negara terhadap sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar Jawa.
Dengan berbagai peraturan perundang-undangan, negara mengembangkan berbagai kebijakan, yang intinya adalah mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat yang ada, tanpa memberikan ganti rugi sama sekali.
Pemenuhan Hak Masyarakat Adat
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia itu merupakan ratifikasi dari instrumen Hak Asasi Manusia internasional, salah satunya UN Declaration on The Rights of The Indigenous Peoples.
Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat ini memuat ketentuan mengenai Free Prior Informed Consent (FPIC)-Persetujuan Bebas Tanpa Paksaan. Ia menetapkan standar minimum atas hak pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari instrumen hak asasi manusia internasional, yang mengandung pasal-pasal berhubungan dengan FPIC, yakni Pasal 10, 11, 19, 28, 29 dan 32.14.
Dalam FPIC, masyarakat adat diberikan kebebasan waktu dan ruang untuk mengambil keputusan internal dan kolektif mereka tanpa campur tangan pihak lain. Keputusan kolektif masyarakat adat untuk setuju atau tidak setuju harus diakui dan dihormati dengan dokumentasi keputusan secara tepat dan akurat. Karena itu, keputusan persetujuan yang dihasilkan dari ancaman, manipulasi dan salah informasi dianggap tidak sah.
Pembaharuan agraria berkewajiban untuk melakukan pemerataan, dengan demikian pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber agraria akan ditentukan sejauh mana DPR bersama pemerintah melaksanakan kebijakan tersebut.
Data BPS per Maret 2007 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Dari Jumlah tersebut penduduk desa yang miskin menempati jumlah terbesar, yaitu 21,90 persen.
(Data BPS 2007) Masyarakat hukum adat berada pada posisi penduduk miskin. Masalah penduduk miskin bukan masalah pendapatan tetapi masalah aset dalam hal ini aset terhadap tanah dan sumber agraria lainnya di bawah permukaan maupun di atas permukaan tanah sebagai sarana untuk mengantungkan hidup.
Aset tanah merupakan hak dasar bagi seseorang, dengan demikian model pambangunan yang harus dipilih oleh negara adalah model pembangunan agar rakyat miskin (masyarakat hukum adat) satu diantaranya memiliki akses terhadap tanah sebagai aset kehidupan yang berdampak pada kesejahteraan.
Pembangunan sebagai proses transisi masyarakat ke arah yang lebih adil, sejahtera dan demokratis, maka struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah segera ditata ulang, seperti konsep pembaharuan agraria yang terdesentralisasi dan partisipasi harus menjadi konsep yang mendasari.
Indonesia sebagai negara agraris menjadi ciri khas negara yang hingga hari ini masih mewarnai corak kehidupan masyarakatnya, yakni tidak hanya bermata pencaharian sebagai petani tetapi lebih dari itu seluruh sistem kehidupan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya) berdasarkan pada sistem pertanian atau agraris, dalam artian semua tatanan sosial masyarakatnya didasarkan pada bidang agraris.
Reforma agraria merupakan sebuah inisiatif penting dalam upaya memperbaiki ketidaksetaraan distribusi tanah di Indonesia, mengurangi kemiskinan, serta menciptakan keadilan agraria. Pada saat yang sama penting untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat juga dipenuhi dalam proses perjalanan reforma agraria.
Ditengah dinamika perkembangan negara dan masyarakat, Indonesia telah memasuki era otonomi daerah, yang memungkinkan pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola urusan lokal mereka sendiri. Otonomi daerah bertujuan untuk menciptakan kebijakan yang lebih teapt sasaran dan mendekatkan pemerintah dengan masyarakat.
Aktualisasi hukum agraria adalah langkah penting untuk mendukung otonomi daerah di Indonesia. Dalam konteks ini, aktualisasi hukum agraria berarti memperbarui dan menyelaraskan regulasi dan kebijakan agraria dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, sehingga daerah-daerah memiliki kewenangan yang cukup untuk mengatur dan mengelola sumber daya tanah dan agraria sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik mereka.
Delegasi kewenangan agrarian memungkinkan pemerintah daerah untuk memiliki kewenangan lebih besar dalam pengelolaan tanah dan sumber daya agrarian di wilayah mereka. Ini dapat mencakup penentuan kebijakan agraria, izin pemanfaatan tanah, serta pembagian tanah.
Penyesuaian kepemilikan tanah memungkinkan pemerintah daerah untuk menyesuaikan kepemilikan tanah sesuai dengan kebijakan dan kebutuhan lokal. Ini termasuk perubahan status kepemilikan tanah, pengelolaan hak-hak tanah, dan penyediaan tanah bagi masyarakat adat dan petani kecil.
Melakukan pemetaan dan registrasi tanah yang akurat serta menyediakan informasi terkait tanah yang mudah diakses oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Hal ini membantu dalam perencanaan Pembangunan, pengelolaan sumber daya, dan penyelesaian sengketa tanah.
Mendorong pemerintah daerah untuk menyusun Peraturan Daerah (Perda) agraria yang sesuai dengan kebijakan nasional dan kebutuhan lokal. Perda tersebut harus mencerminkan aspirasi dan karakteristik daerah, termasuk perlindungan hak masyarakat adat.
Aktualisasi hukum agraria juga harus mencakupi langkah-langkah untuk memperkuat peran masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan dan pengelolaan tanah. Ini dapat mencakup pemberian wewenang kepada kelompok lokal untuk mengelola tanah secara kolektif.
Membuat system penyelesaian sengketa agraria yang efektif dan adil di tingkat daerah. Ini akan membantu mengatasi konflik tanah dan sengketa agraria secara efisien, yang dapat menghambat Pembangunan dan otonomi daerah.
Mendorong kerja sama antar pemerintah daerah, pemerintah pusat dan pihak yang terkait lainnya dalam implementasi kebijakan agraria juga merupakan langkah aktualisasi hukum agraria yang dapat mendukung otonomi daerah, dianggap penting karena untuk memastikan koordinasi dan harmonisasi dalam pengelolaan tanah dan sumber agrarian.
Dengan mengaktualisasikan hukum agrarian sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untk Pembangunan berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pengelolaan sumber daya tanah dan agraria yang lebih efisien dan adil. Hal ini akan memungkinkan daerah-daerah untuk lebih mandiri dalam mengelola aset-aset penting mereka sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan.
Hak Desa adat dan otonomi daerah keduanya saling berkaitan dan saling mendukung dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Hak desa adat merujuk pada hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam, dan warisan budaya mereka yang telah ada sejak turun-menurun. Hak ini melibatkan ha katas kepemilikan tanah, hak penggunaan tradisional, serta hak mengelola sumber daya alam yang ada di wilayah mereka.
Ketika pemerintah daerah mampu mengakui dan melindungi hak desa adat, maka hal ini menjadi komponen penting dalam implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat lokal. Ini termasuk pengakuan terhadap identitas budaya, etnis, dan adat istiadat yang beragam di setiap wilayah.
Hak Desa adat memainkan peran penting dalam mempertahankan dan memelihara identitas lokal. Pengakuan identitas lokal dapat mendorong pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang lebih sensitif terhadap kebutuhan dan kepentingan khusus masyarakat adat.
Jauh sebelum Indonesia muncul sebagai negara, seluruh masyarakat adat di nusantara telah mengelola dan melindungi wilayah leluhur mereka dengan menggunakan sistem hukum dan tata pemerintahan adat masing-masing.
Namun saat ini di Indonesia, hak-hak sebagian besar masyarakat adat atas wilayah leluhur mereka masih belum diakui hingga sekarang sekitar 70% dari daratan Indonesia diklaim negara oleh negara sebagai kawasan hutan negara Indonesia.
Sebagian besar masih memakai prinsip kolonial. Prinsip kolonial yang mengatakan bahwa wilayah adat, tanah rakyat ketika ditetapkan menjadi hutan negara dan tanah negara, maka rakyat itu kehilangan haknya. Konsep tanah negara, hutan negara itu dilanjutkan oleh pemerintah pasca kolonial.
Di Indonesia kebijakan tata guna lahan Indonesia lebih memihak perusahaan dibanding masyarakat dan rencana tata ruang lokal ditunjukan untuk terus melanjutkan ekspansi besar-besaran perkebunan dan pertambangan jutaan hektar hutan di Indonesia telah hancur dan ribuan konflik lahan terus berlanjut.
Adanya kampanye panjang untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayah, sejalan dengan itu kesadaran atas resiko meningkatnya konflik agraria juga tumbuh. Hal ini mulai mengubah situasi dalam putusan Makamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2013 dapat bermakna juga bahwa hutan adat bukan lagi sebagian hutan negara.
Banyak gerakan masyarakat adat di Indonesia contoh pertama adalah tentang konsepsi masyarakat di atas tanah negara, hutan desa adalah sebuah skema pemerintah yang memberi masyarakat hak kelola dalam jangka waktu terbatas, namun tidak memberi masyarakat hak milik masyarakat harus mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mendapatkan hak pengelolaan sementara wilayah leluhur masyarakat.
Tanah harus diperlakukan sebagai alat produksi untuk menciptakan keadilan sosial, tidak untuk kepentingan individual yang dapat menyebabkan konsentrasi kepemilikan dan eksploitasi “kaum yang lemah oleh kaum yang kuat”.
Para pemilik tanah dan sumber agraria di dalam wilayah kedaulatan Indonesia adalah rakyat Indonesia. Meskipun hak milik individu adalah suatu keistimewaan, orang asing tidak diizinkan untuk memiliki tanah di Indonesia, namun mereka dapat diberi hak untuk menggunakan sumber agraria tersebut dengan mengikuti sejumlah peraturan tertentu.
Berdasarkan prinsip-prinsip “Hak Menguasai Negara”, pemerintah pusat dan daerah dapat mengeluarkan berbagai izin penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria di Indonesia. Hak penguasaan negara tersebut mencakup hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan lainnya. agraria adalah dasar bagi ekonomi nasional yang akan membawa pada keadilan sosial.
COMMENTS